Rabu, 04 September 2013


Tarian atau Mpa’a Buja Kadanda merupakan salah satu dari sekian banyak tarian heroik warisan kesultanan Bima. Tarian ini digolongkan dalam Tari Rakyat atau Tari yang berkembang di lingkungan masyarakat seiring perkembangan kesultanan Bima.
Meskipun Tumbuh dan tumbuh dan berkembang di luar istana, namun sultan melalui para seniman istana, tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan tarian rakyat, dengan demikian mutu tari tetap terpelihara dan terpacu pada nilai dan norma agama dan adat yang islami. Kebijakan istana dalam hal ini sultan bersama seniman istana sangat berbeda dengan kebijakan sultan dan seniman Istana Jawa (Yogya, Surakarta dan Solo).
Raja dan seniman di lingkungan Istana Yogyakarta, Surakarta dan Solo, tidak memperhatikan  perkembangan kesenian rakyatnya, termasud seni tari. Istana hanya mengutaman perkembangan kesenian termasuk seni tari istana atau klasik saja.
Tari ini dibawakan oleh dua orang pemain laki – laki dengan mempergunakan senjata “buja kadanda” atau tombak berumbai bulu ekor kuda, dilengkapi dengan perisai (perisai). Karena itu tari ini diberi nama mpa’a buja kadanda. Diiringi musik genda Mbojo.
Bagaimana alur tarian ini ?
Diawali oleh penabuhan dua Gendang, Gong, Serunai dan Tawa-Tawa. Awalnya Gendang ditabuh dengan irama lamban. Kemudian para pemain dengan menggunakan Buja Kadanda masuk satu persatu memberi salam kepada para penonton atau undangan dan mulai memainkan Buja Kadanda dengan style masing-masing. Gaya dan gerakannya hampir mirip dengan pencak silat, tetapi mereka menggunakan Buja Kadanda.
Semakin lama, alunan dan tabuhan gendang dipercepat dan pemain/penarinya pun mulai saling memukul dengan menggunakan buja Kadanda. Dan diakhir pementasan, alunan Gendang diperlambat lagi sebagai aba-aba bahwa atraksi harus segera diakhiri. Kemudian para penari berangkulan dan memberi salam kepada para penonton dan undangan.
Seiring perkembangan zaman, Buja Kadanda sudah jarang dimainkan. Saat ini hanya tinggal beberapa sanggar Seni saja yang menampilkan atraksi ini seperti di kecamatan Wawo. Keli woha, Dan Bolo. Perlu adanya perhatian dan pembinaan serta proses regenerasi terhadap atraksi kesenian tradisional ini. (*Alan)

0 komentar:

Posting Komentar